BELAJAR JUJUR PADA Pak Sabariman, TUKANG BECAK PENEMU PUKIS
(salah satu naskah dalam catatan “belajar dari orang-orang pinggiran”)
Membaca,mendengar,
dan melihat berbagai kondisi dan berita di media di Indonesia,
seringkali membuat saya tambah pusing.Apalagi berita-berita yang terkait
dengan kebejatan moral orang-orang penting negeri ini, yang dengan
seenaknya mereka rampok, atau dengan bahasa halusnya korupsi dan juga
kolusi. Tambah pusing lagi memikirkan bahwa hukuman gampang saja bisa
diatur, tergantung besaran suap, yang saat ini tak lagi cukup masuk
amplop, tetapi harus diwadahi koper saking banyaknya.”Payah, tukang
tangkap malingnya aja pinter maling…gimana bisa selesai kita mengurai
benang kusut negeri ini”, gerutu seorang teman.
Sama seperti pagi
itu, headline koran lokal Yogya juga dihiasi dengan berita pengadilan
kasus-kasus korupsi nasional. Saya sampai malas lagi untuk membacanya,
karena seringnya dan karena biasanya ujung-ujungnya juga vonis yang tak
seberapa. Entah karena “koper uang “ tadi, atau pinternya si koruptor
bikin alibi.Saya buka lembar-lembar koran halaman
berikutnya.Iseng-iseng, saya baca surat pembaca.Hm, seperti biasa,
kebanyakan orang nulis tentang kehilangan dompet, atau komplain atas
layanan’’ instansi yang tak ramah.
Bosan dengan itu, hampir saja
saya mengalihkan mata ke halaman samping. Tetapi sekilas saya melihat
sebuah judul surat pembaca yang aneh “Menemukan Kue Pukis”.Tulisannya
Cuma singkat, satu alinea saja.Ada ilustrasi bapak dan anak makan kue,
dengan becak di latarbelakangnya. Aneh, saya jadi tertarik untuk
membacanya.
“Saya seorang tukang becak. Pada Selasa 14 Oktober
2008, menemukan sebuah tas berisi kantong bertulisan kue pukis mang
tosir. Isinya masih hangat. Terjatuh di jalan Ngasem, Yogya. Melalui
rubrik ini saya mohonkan kepada yang merasa mempunyai untuk merelakan
kue itu kami makan sekeluarga. Mudah-mudahan ridho. Dan saya doakan
semoga Anda mendapat ganti rezeki yang banyak. Amin” (Sabariman,Jl
Rotowijayan 3 Yogyakarta).
Allahu Akbar!Hari gini, masih ada
orang, seorang tukang becak pula, yang memiliki akhlak luar
biasa.Bayangkan, hanya menemukan sebungkus kue pukis, dia sampai menulis
surat pembaca di koran, agar kue yang termakan keluarganya halal
statusnya. Ia juga masih sempat mendoakan si pemilik kue, agar mendapat
ganti rizki yang banyak. Ya Allah, Tukang becak ini bukan orang
sembarangan .Ia pasti orang yang luar biasa.Bayangkan, jika yang
menemukan orang yang biasa saja, alih-alih nulis surat pembaca minta
dikhlaskan,mungkin orang lain akan nyeletuk: syukurin deh… salah siape
kue begini dijatuhin. Ya udah ini rejeki yang nemu!
Saya jadi
ingat ulama masyhur, Hasan Basri. Suatu saat, dalam kondisi kelaparan,
ia duduk di tepian kali. Tiba-tiba lewatlah di depannya sebuah apel yang
hanyut di sungai itu. Spontan, karena laparnya, Hasan Bari mengambil
apel itu, dan memakannya. Selesai makan, dan perutnya lebih nyaman,
barulah ia tersadar, apel yang ia makan belum jelas hak siapa. Sebagai
orang yang sangat unggul akhlaknya, Hasan Basri jadi merasa berdosa. Ia
takut apel di perutnya akan menyebabkan murka Allah padanya. Maka
berjalanlah Hasan Basri melawan arus sungai, demi menemukan pemilik apel
yang telah
ia makan tadi. Ia ingin minta keikhlasan pemilik apel
tadi, supaya apel di perutnya mernjadi halal.Demikianlah seterusnya
hingga Hasan Basri akhirnya menemukan si pemilik pohon apel, dan
kemudian mengaku dosa bahwa ia telah memakan apel (yang mungkin juga
cuma jatuh tanpa sengaja ke sungai)tanpa izin.Tak cukup itu, Hasan Basri
minta pemilik pohon menghukum dirinya dalam bentuk apapun yang dimaui
empunya pohon apel. Wah, sungguh kisah yang menginspirasi orang-orang
yang ingion memperbaiki akhlaknya, (atau malah dianggap konyol bagi
mereka yang bebal hatinya!)
Saya sendiri tidak yakin, pak
sabariman, tukang becak penemu pukis itu pernah membacaa atau mendengar
kisah ini. Tetapi saya yakin, ia adalah orang yang sangat bersih
hatinya, luar biasa akhlaknya. Ah, seandainya saja para petinggi negeri
ini mau belajar pada seorang sabariman….
Silahkan download disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar